Oleh: Ruta, di Bumi
Degup hati saling beradu
Kian memuai, dan telah melahirkan sebuah rindu.
Harapanku itu satu: temu.
Entah kapan, akupun juga belum tahu..
Perjamuan Khong Guan:
Joko Pinurbo
Di kaleng khong guan
hidup yang keras dan getir
terasa renyah seperti rengginang.
Berkerudungkan langit biru,
ibu yang hatinya kokoh membelah
dan memotong-motong bulan
dan memberikannya
kepada anak-anaknya yang ngowoh.
Anak-anak gelisah
sebab ayah mereka
tak kunjung pulang.
”Ayahmu dipinjam negara.
Entah kapan akan dikembalikan,” si ibu menjelaskan.
Lalu mereka selfi di depan
meja makan: ”Mari kita berbahagia.”
Si ayah ternyata
sedang ngumpet di belakang,
menghabiskan remukan rengginang.
(Jokpin, 2019).
Cahaya Bulan:
Soe Hok Gie
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di Lembah Kasih
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati
Riuhnya malam ini
Kasih, kamu dengar mereka?
Rintikan hujan membasahi dahan
Malam ini hujan.
Hujan itu rahmat
Bertemu denganmu pun kasih-Nya
Mengenal mu pun kasih-Nya
Apakah lara dan cinta pun kasih-Nya?
Malam ini sedikit dingin
Jemari ku menggila tinta
Pikiran ku terkurung cinta
Aku ini sakit.
Sepoi angin ini berbisik mesra
Apakah salam ku telah sampai?
Pada setiap nafas udara yang kau hirup
Berharap salam ku ini t'lah sampai.
Oleh: Ruta, di Bumi
Waktu itu terus berbicara, tapi aku selalu tak paham.
Tentang pertanyaan yang terus menerus datang,
Tentang pilihan mu yang sekarang,
Tentang segala hal yang ada disana
Aku selalu menatapnya
Mengira dan terus menjawabnya
Ternyata masih dalam samudera mu itu, ya?
Tak cukup seharian untuk menebaknya
Butuh berpuluh ribu disetiap waktu aku meliriknya
Berharap jam ini mengatakan yang sesungguhnya
Oleh: Ruta, di Bumi
Aku bisa menjadikanmu, kekasih
Tetapi aku juga bisa menjadi lara mu.
Begitu ucap mu,
Sebelum kayu itu direnggut api yang menjadikannya abu.
Pada dahan yang telah basah dihujani air mata
Aku bersaksi dibawah langit, dan tentu kakiku masih menapakki tanah basahnya.
Bahwa Aku, "Perempuan yang akan selalu mencintaimu sepanjang waktu".
Hanya pada ilahi kekalahanku
Bawalah aku pada ombak dilaut
Dimana kita berdua akan berada disebuah perahu kayu
"Biru, membiru, semakin biru". Kau siap, sayang? tenggelam bersamaku.
Maka itu, jadikan aku kekasih akhir hayat mu, sayangku.
Oleh: Ruta, di Bumi
Malam ini sangat melankolis
Jalan kota ini sedang terlihat sendu
Semua orang di busway seakan sudah tau
Jika aku dan kamu tak lagi bertemu
Dari kaca terlihat langit mulai menangis
Membasahi bumi dengan rintik air mata
Apa karna kita tak lagi bersama?
Apa karna kita takkan bersama?
Oleh : Fatima Musawa
Aku ingin jatuh cinta.
Aku ingin tahu pikiranmu yang tidak diketahui,
Aku ingin mengerti rasamu yang paling tersembunyi.
Aku ingin menyukai selera musik dan makanmu,
Aku ingin mencuri kenangan dan ingatanmu,
Aku ingin membawa bagian darimu sepanjang hidupku,
Aku ingin tenggelam padamu.
Relakah kau, ku cintai sedalam itu?
Oleh : Ruta, di Bumi
"Siapa aku?"
Aku ini apa?
Dari milyaran manusia diluarsana
Aku ini siapa?
Apakah diantara manusia itu aku
Apa mau ku?
Tak pernah usai atas segala keinginan
Kata mereka,
Manusia terlahir dari cinta
dan untuk cinta.
Apakah manusia ditakdirkan untuk cinta?
Cinta dan kematian, tak jauh berbeda.
Cinta yang terlalu lama pun bisa mati, bukan?
atau, mati yang terlalu lama bisa jadi cinta?
Itu aku, yang berada diantaranya.
Ya, itu aku.