Arsip Blog

Rabu, 18 Januari 2023

Aduan

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Layaknya sesuatu hal, yang membuat ku candu. 

Kamu membuatku terbiasa akan dirimu. 

Hanya dari ketikanmu, hatiku berangsur menyembuhkan rasa rindu. 

Rindu yang mencuat akan kehadiran dirimu. 

Tapi satu hal yang harus kamu tahu. 

Rasanya tak ingin lagi merasakan pilu. 

Tapi benar, kau memang benar-benar merumitkan hidupku. 

Merumitkan sistem pikiranku, dan bahkan hatiku. 

Aku rasa aku akan mengadukan mu pada semesta.

"Semesta, salah satu insan mu ini telah membuat ku candu. Dan sepertinya aku sudah terlanjur menyukai insan mu itu".

Oleh : Ruta, di Bumi. 

Candu suara mu. 

Mendengar suaramu aku merasa nyaman dan bahagia. 

Aku ingin bertanya, apa suara mu itu terbuat dari sofa eropa? atau dari sebuah ramuan pembahagia?

Suara mu tetaplah suara yang selalu ku tunggu. Dan suara mu tetaplah suara yang selalu ku rindu.

Kini, mungkin aku telah di vonis memiliki candu.

Iya candu, candu akan suara dirimu.

Izin

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Masih terlintas bayangan dirimu. 

Masih ku tata rapih kenangan tentang aku dan kamu. 

Bisakah waktu berbalik dikala itu?

Bersenda gurau bersama mu sehingga aku lupa waktu.

Merajut cerita yang tokohnya hanya ada aku dan kamu.

Membuat dunia seakan tak punya waktu sehingga aku bisa berlama-lama dengan mu. 

Apakah semesta akan mengizinkan kita bersatu? atau bahkan kita sama sekali tak akan mendapat restu? 

Aku hanya ingin itu satu, kita bertemu dan membuat dunia baru.

Meluruhkan sebongkah rindu yang sudah membatu. 

Ku mohon semesta, izinkan aku. 

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Aku bukannya ingin menerka-nerka. 

Tapi aku tahu, aku hanyalah sebatas untaian kata yang ditulis oleh sang pencipta dalam buku sansekerta, dengan maksud sebagai pemeran pembantu saja. 

Oleh : Ruta, di Bumi. 

Pada akhirnya seindah apapun aku merangkai kata, jika kau tak kunjung peka. Maka aku hanya akan terjebak dalam kata-kata.

Tak Berani

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Aku tak pandai mengungkapkan.

Lebih sering memendam lalu mengenangnya.

Menulis, mengetik, menulis, mengetik.. 

Hanya itu yang aku bisa. 

Satu persatu huruf aku rangkai untuk jadi sebuah kalimat. 

Kalimat yang t'lah mewakili ku, tentang perasaan ku selama ini. 

Bisa kamu katakan, aku adalah orang yang tidak pernah berani. 

Memang, selama ini aku tidak berani. 

Karena selalu menyimpannya sendiri. 


Selalu Kamu

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Kamu merupakan bab terakhir dari bab-bab sebelumnya. 

Kamu, kata yang tak pernah kunjung usai bila ku ceritakan semuanya. 

Kamu itu kalimat yang selalu berhenti dengan penuh tanda tanya. 

Kamu, untaian puisi yang dipenuhi oleh banyaknya rima. 

Kamu adalah tokoh melegenda yang akan selalu aku bawa. 

Kamu, kamu, kamu.. 

Semuanya dipenuhi oleh kamu. 

Dan bahkan saat ini, tulisan ku bercerita tentang kamu. 


Temu Pisah

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Rasanya hanya ingin terus tinggal untuk menetap dan bersama. 

Menikmati pagi dengan secangkir teh hangat di beranda depan. 

Dan ditemani common sunflower yang sedang merekah-merekahnya. 

Namun apa daya.. 

"Setiap pertemuan pasti selalu ada perpisahan".


Gabrut (Galau Brutal) 

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Kepala ku seperti arena perdebatan. 

Sebelah kanan sedang menyuruh ku untuk tidur dan menyambut hari esok yang tak menentu. 

Tetapi sebelah kiri sedang menyuruh ku untuk tetap menulis dan menghabiskan tinta pulpen yang sedang berpuisi karena mengingat mu. 

Kamu

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Kata per kata, bait per bait.
Semua ku tulis hanya tentang dirimu.
Ada yang spesial dari dirimu
Aku melihat nya, satu.
Kamu.

Aku

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Aku mencintaimu dengan sederhana. 

Seperti aksara yang tak bersuara. 

Seperti daun gugur yang ikhlas. 

Seperti asa yang tak pamrih. 

Seperti ruang yang rumpang. 

Aku hanya puisi yang merindukan sang puan, berselimut dibalik kata dan berteduh dalam bait sajak. 

Aku puisi yang kehilangan pemilik, dengan berjuta ribu kata yang tak pernah usai. 

Aku ingin yang selalu ingin memeluk mu dari jauh dan menghangatkan mu dari angin malam yang panjang. 

Aku ada, akan selalu ada. 

Hanya untuk mu, kasih. 

orang yang ku sayang.

Aku Pernah 

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Aku pernah..
Aku pernah ingin tersesat dengan mu.
Aku pernah..
Aku pernah ingin terjebak dalam ruang waktu bersama mu.
Aku pernah..
Aku pernah ingin menjadi udara yang selalu memeluk mu.
Aku pernah..
Aku selalu pernah ingin.

Mungkin karena..
Aku sudah lupa dengan kiblat sujud ku.
Aku sudah lupa dengan tuhan ku.
Aku sudah lupa dengan syahadat ku.
Aku sudah lupa dengan rakaat ku.
Aku sudah lupa dengan kitab ku.

Aku teringat potongan hadis itu.. "Cintailah kekasihmu dengan kecintaan yang sewajarnya, boleh jadi suatu saat dia akan menjadi orang yang engkau benci." "Dan, bencilah orang yang engkau benci sewajarnya, boleh jadi suatu saat dia akan menjadi seorang yang engkau cintai.”

Sadar

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Mengenai semua puisi, perasaan ini tak bisa lagi untukku ingkari. 

Tentang sebuah perasaan yang telah menjadi.
Aku pun mulai sadar diri, bahwa kamu tak akan pernah bisa untuk ku miliki.
Ku berdoa disetiap hari, merelakan kamu pergi.

Dan jika memang kau tak akan kembali.. 

Aku sudah berpesan pada sang pemilik tata surya, agar membiarkan seorang puan lain membuat kembali ukiran manis di pipi.

  

Kepulangan di Terminal

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Tepat di sudut bangku panjang sebelah kanan, dengan pohon beringin diseberangnya. 

Dihiasi sepasang burung pipit yang sedang bercengkrama riang dan ditemani beberapa bunga yang sedang bermekaran.

Beberapa orang berjalan cepat seperti takut akan kehilangan, sisanya dalam kondisi damai nan tenang.

Namun, ada seseorang dengan sejuta penantian, menunggu sosok yang ia nantikan turun dalam sebuah perjalanan yang amat panjang.

Resah dan gelisah bercampur menjadi satu didalam sebuah atma raga, memprovokasi ketenangan dengan semua serpihan-serpihan memorindu dalam kenangan.

Itu sebuah penantian.

Kepulangan mu bagi ku;

Seperti tanah yang merindukan air hujan. 

Seperti taman malam dengan embun pagi. 

Seperti siang yang menanti matahari. 

Dan seperti sore dengan senja di langit bumi.

Kepulangan mu merupakan kepulangan yang aku tunggu, karena aku akan selalu menanti mu di Terminal Bus, seperti sore itu.

 

 

Duduk Akhir

Oleh : Ruta, di Bumi. 


Tasbih ku bergilir.. 
melantunkan doa.

Kalimat indah terlontar.. 
hati tentram yang diterima.

Hanya sedikit bisik yang berisik.. 
tetapi didengar oleh sang pemilik semesta.

Pintaku.. 
berlimpah-limpah.

Tetapi nama mu..
menjadi akhir dalam setiap bait do'a.


𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐊𝐚𝐭𝐚

Selamat datang di Rumah Kata.

Kamu bisa sekadar rehat untuk menepi, ataupun singgah untuk menempati. 

Tak baik berlayar sendiri, kan ku suguhkan teh hangat ataupun kopi dengan beberapa untaian kalimat yang akan menemani. 

Puan dan Tuan, walau ku tak yakin akan membuat hati mu sewarna buah persik, tapi akan ku pastikan rehat mu sejingga senja di sore hari. 

Puan dan Tuan, bagi mu yang hampir mati rasa, Rumah Kata akan selalu terbuka.